Rabu, 03 Juni 2015

Muslim Rohingnya bukan asli warga Myanmar, Benarkah?

Perlakuan diskrimatif terhadap Muslim Rohingnya oleh Myanmar didasari atas asumsi mereka bahwa Muslim Rohingya adalah pendatang, bukan warga asli Myanmar. Benarkah demikian?

Letnan Kolonel Win Maung, yang pernah bekerja di Direktorat Transmigrasi Kementerian Pertahanan Myanmar,
pernah menerbitkan buku berjudul ‘The Light of Sasana’ (Cahaya dari Sasana) pada 1997 lalu. Pada halaman 65 buku itu disebutkan, agama Islam sudah diperkenalkan ke Myanmar sejak 1.000–1.200 tahun silam.


Bukan produk politik

Pada zaman kuno, Negara Bagian Rakhine dikenal dengan nama Rohang. Sementara, orang-orang yang menghuni negeri itu dipanggil dengan sebutan 'Rooinga' atau 'Rohingya'. Dengan demikian, Rohingya adalah kelompok etnik yang muncul melalui peristiwa sejarah yang panjang. Mereka bukanlah ‘produk politik’ yang tiba-tiba muncul ketika Inggris menancapkan kekuasaannya di Arakan dan Burma antara 1824–1948.

Peneliti asal Skotlandia, Francis Buchanan mengungkap, kaum Mohammedan (yang secara harfiah berarti ‘pengikut Muhammad’ atau Muslim) telah lama menetap di Arakan. “Orang-orang itu menyebut diri mereka sebagai ‘Rooinga’ yang berarti masyarakat pribumi asli Arakan,” tulis Buchanan dalam laporannya, Asiatic Research 5, yang diterbitkan pada 1799.

Sementara, sensus yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris di Burma pada 1826, 1872, 1911, dan 1941 juga menyebutkan, masyarakat Rohingya yang diidentifikasi sebagai Muslim Arakan adalah salah satu ras asli di Burma.

Menurut hasil dokumentasi SIL Internasional (sebuah lembaga bahasa dunia yang memiliki status konsultatif khusus dengan PBB), bahasa Rohingya Myanmar masuk dalam rumpun dialek Indo-Arya. Bahasa ini terdaftar dengan kode “rhg” dalam tabel ISO 639-3.

Meski dialek yang dipertuturkan orang-orang Rohingya berbeda dengan yang diucapkan penduduk Burma di Rakhine sekarang, fakta sejarah membuktikan bahasa Rohingya mempunyai kesamaan dengan bahasa yang digunakan masyarakat Vesali kuno (antara 327–818). Di samping itu, hasil kajian Universitas Oxford sepanjang 1935–1942 menyimpulkan, kebudayaan Rohingya sama tuanya dengan usia Monumen Batu Ananda Sandra yang didirikan di Arakan pada abad kedelapan silam.

Pada awal kemerdekaannya, pemerintah Burma (yang kemudian berganti nama menjadi Myanmar) masih mengakui komunitas Rohingya sebagai salah satu ras asli di Myanmar. Itu seperti tercantum dalam Bab 3 (1) UU Kewarganegaraan Burma 1948. Selain itu, dalam pidato Perdana Menteri U Nu yang dibuat pada 25 September 1954, juga disebutkan bahwa ras Rohingya yang berada di Buthi Daung, wilayah Maung Daw, adalah orang-orang Muslim.

Bahkan, sejak 15 Mei 1961, sebuah program berbahasa Rohingya disiarkan sebanyak tiga kali per pekan di Myanmar. Kebijakan tersebut sebagai bagian dari Program Kebangsaan yang digulirkan pemerintah pada masa itu. Fakta itu terungkap dalam buku Myanmar Radio (halaman 71) yang diterbitkan oleh Departemen Informasi dan Penyiaran Burma.

TAGS
#rohingya #myanmar

sumber : ROL

Tidak ada komentar:

Posting Komentar