Indonesia baru saja menjadi tuan rumah Sidang Tahunan IDB (Islamic Development Bank) yang ke 41. Isu pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan melalui pembangunan infrastruktur dan inklusi keuangan menjadi tema yang menghiasi seluruh rangkaian kegiatan sidang tahunan tersebut. Diantara rangkaian kegiatan tersebut adalah pelaksanaan kegiatan International Seminar on Islamic Microfinance for Poverty Alleviation in OIC Member Countries pada tanggal 14 Mei 2016, yang dihadiri oleh 300 peserta termasuk 70 tamu asing dari 30an negara anggota IDB, dan IDB Expert Meeting on Discussion of IMPACT (Islamic Microfinance for Poverty Alleviation and Capacity Transfer) Program pada tanggal 15 Mei 2016, yang dihadiri sekitar 40 pakar asing dan 10 pakar domestik. Kedua kegiatan tersebut berlangsung di Bogor dengan IPB mendapat kehormatan sebagai tuan rumahnya.
Dari kedua kegiatan tersebut dapat ditarik benang merah bahwa peran keuangan mikro syariah menjadi sangat penting dan strategis dalam upaya pengentasan kemiskinan di negara-negara Islam yang notabene banyak berada dalam kategori negara berkembang. Beragam model institusi keuangan mikro syariah telah berkembang di berbagai negara, termasuk model BMT (Baytul Maal wat Tamwil) yang men jadi ciri khas Indonesia. Yang menarik, banyak negara tertarik untuk mempelajari konsep BMT karena di mata mereka BMT memiliki keunikan, antara lain: (i) BMT tumbuh melalui inisiatif masyarakat tanpa banyak bantuan pemerintah di awal pendiriannya, sehingga tidak menimbulkan beban berat pada APBN; dan (ii) kemunculan BMT tidak menciptakan reformasi struktural dan regulasi yang mengakibatkan terjadinya instabilitas pemerintahan dan konflik sosial politik. Terkadang di beberapa negara, penubuhan institusi baru sering menimbulkan persoalan pada sisi sosial politik dan pemerintahan.
Untuk itu, agar peran institusi keuangan mikro syariah termasuk BMT ini semakin kuat, maka berdasarkan pertemuan para pakar IDB, disepakati lima pilar mendasar sebagai pondasi penguatan lembaga keuangan mikro syariah. Kelima pilar itu adalah regulasi dan standarisasi kebijakan, aspek operasional, teknologi, monitoring dan evaluasi, serta advokasi. Inilah yang menjadi dasar pengembangan program IMPACT oleh IDB.
Pada pilar yang pertama, regulasi dan standarisasi kebijakan merupakan hal yang sangat fundamental. Diharapkan, negara-negara ang gota IDB dapat mengembangkan berbagai kebijakan yang mendukung berkembangnya keuang an mikro syariah. Dalam konteks Indonesia, pilar ini dapat diterjemahkan sebagai upaya sinkronisasi kebijakan agar peran BMT dan koperasi syariah menjadi semakin kuat dalam pem bangun an nasional. Jangan sampai muncul kebijakan yang berpotensi melemahkan peran BMT dan koperasi syariah secara sistematis.
Sebagai contoh, beberapa waktu terakhir ini muncul kegelisahan di kalangan para praktisi BMT dan koperasi syariah terkait dengan dampak kebijakan KUR (kredit usaha rakyat) dan layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan inklusi (LAKU PANDAI), atau dikenal dengan istilah branchless banking. Kedua kebijakan ini memiliki tujuan yang sangat baik, yaitu bagaimana memperbesar layanan keuangan pada kelompok-kelompok yang selama ini belum atau masih memiliki akses yang sangat terbatas terhadap keuangan formal. Akan banyak usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang akan menikmati fasilitas kebijakan ini.
Namun demikian, jika pada praktiknya BMT dan koperasi syariah tidak dilibatkan, maka hal tersebut berpotensi melemahkan institusi BMT dan koperasi syariah. Pelemahan tersebut dapat dilihat dari dua hal. Pertama, dari sisi funding, dana-dana yang dimiliki masyarakat kelas menengah ke bawah yang berada di wilayah pelosok akan masuk ke perbankan, atau bahkan dana anggota koperasi berpindah ke perbankan.
Kedua, dari sisi financing, nasabah pembiayaan BMT dan koperasi syariah akan banyak yang berpindah kepada perbankan karena skema KUR mendapat subsidi pemerintah. Tentu kita berharap agar kedua kebijakan yang bertujuan baik ini jangan sampai menimbulkan masalah bagi BMT dan koperasi syariah. Karena itu, institusi ini tidak boleh ditinggalkan. Pemerintah harus mau mengajak BMT menjadi partner dalam penyaluran KUR sesuai syariah, dan institusi BMT ini juga harus dilibatkan dalam kebijakan LAKU PANDAI agar kesenjangan ekonomi tidak semakin melebar akibat penyerapan dana masyarakat desa ke kota.
Selanjutnya, tiga pilar yaitu operasional, teknologi dan monitoring & evaluasi (monev) sangat erat kaitannya dengan penguatan kelembagaan keuangan mikro syariah. Bagaimana dalam konteks Indonesia, kinerja BMT dan koperasi syariah ini diperkuat pada sisi operasionalnya, penguasaan aspek teknologinya serta instrumen-instrumen yang menjadi alat ukur keberhasilan BMT, bukan hanya pada aspek keuangan, namun juga pada aspek sosial ekonomi. Disinilah pentingnya pengembangan jaringan antar BMT dan koperasi syariah pada level nasional, maupun jaringan yang kuat pada level internasional. Para peserta IDB Expert Meeting sepakat bahwa program IMPACT yang dikembangkan IDB harus menjadi jalan penguatan pilar-pilar ini melalui penguatan jaringan internasional sebagai media pertukaran informasi dan pengalaman antar negara.
Sementara pada sisi advokasi, sejumlah pekerjaan besar menanti. Antara lain, bagaimana melakukan edukasi publik terkait konsep dan aplikasi keuangan mikro syariah, penguatan kapasitas SDM BMT dan koperasi syariah, hingga pendampingan terhadap kebijakan pemerintah agar senantiasa berpihak pada keuangan mikro syariah. Wallaahu a'lam.
Dr Irfan Syauqi Beik
Kepala Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CIBEST) IPB
Kepala Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CIBEST) IPB
Sharing kolom rutin kami Iqtishodia di Republika edisi 26 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar